Jejak Luka 5
Rana
Terbangun. Tubuhnya terasa menggigil meskipun kini tubuhnya terbalut pakaian
yang mungkin suaminya yang memakaikannya.
Kepalanya terasa pening mungkin karena
efek berendam terlalu lama. Mata coklatnya melirik jam dinding yang terpajang
apik di sudut kamar.
Pukul 21.00
wib, ah ternyata dia sudah tertidur lumayan lama.
“ Honey
Apakah kamu sudah bangun?” suara hangat seorang pria memasuki indra pendengaran
Rana.
Rana hanya bergunam pelan, tanpa berniat berbalik untuk melihat wajah
suaminya Justin.
Ia terlalu
muak untuk melihat pria itu.
Tak lama
kemudian Justin datang menghampiri Rana dengan
membawa nampan yang berisi air hangat dan obat demam.
“ Kamu
sepertinya demam? Minum obat dulu ya?”
“ Tak perlu
Tuan Justin”
Seakan tuli Justin tetap menghampiri Rana sambil membawa air dan obat demam . digapainya
bahu Rana dengan tangan yang lain, hingga...
Prangg....
“ Harus
berapa kali aku bilang Tuan Justin jangan berpura-pura seolah-olah kau peduli kepadaku!”.
Justin
menunduk mencoba membersihkan pecahan gelas yang berserakan dilantai, mata
hitamnya kini berkaca-kaca hingga tak sengaja tangannya tergores pecahan gelas
itu.
Darah mengalir dari jari tangannya.
Bukan, bukan ucapan itu menyakitkan.
Tapi maknanya yang membuat hatinya tersayat.
Nada yang di
gunakan Rana sama dengan Nada yang ia
gunakan dulu. Saat dia sakit dan menolak perhatian Rana. Menolaknya dengan cara
yang sama. Dulu Rana memunguti serpihan gelas yang ia lempar... sama seperti ini.
Bahkan luka
ditangannya pun sama seperti yang Rana alami dulu.
‘ Jadi
seperti ini rasanya?’ batin Justin miris.
Kenapa
begitu mengesakan dan menyakitkan pada saat bersamaan?
Rana
beranjak dari tempat tidur, meninggalkan Justin yang masih terdiam dalam posisinya.
Beberapa menit kemudian Rana kembali dengan Obat Merah dan plaster ditangannya.
Ia berjongkok dihadapan Justin, lalu ia membersihkan luka Justin dan memberinya
Obat merah kemudian ia tutup dengan plaster kecil yang ia bawa.
Justin
terdiam ditempat tak bergerak sedetikpun.
Ia terlalu
terkejut dengan tindakan Rana yang mengobati lukanya, jika dulu ia tega
meninggalkan Rana yang tengah terluka tanpa berniat untuk mengobatiny. Tapi
wanita ini... justru melakukan hal yang sebaliknya.
Rananya
memang berhati malaikat
Lalu kenapa
dulu Justin sia-siakan?
“ Jangan
Ceroboh. Lain kali jangan sok peduli kepadaku.”
Justin
tersenyum miris.
Ucapan Rana
barusan membuat ia memiliki sedikit
harapan bahwa Rana masih peduli kepadanya dan memikirkannya.
“ Kamu harus
minum obat.”
“ Apakah kau
sedang berperan sebagai suami yang baik?”
Justin
menengadahkan kepalanya saat mendengar perkataan Rana.
Ia bisa
melihat bahwa Rana istrinya tersenyum mengejek kearahnya.
“ Aku hanya
mencoba memperaiki apa yang dulu pernah aku hancurkan.”
“Hahaha..
Lupakan” tegasnya.
“ Apapun
yang kamu lakukan tidak akan dapat merubah apapun, jadi hentikan karena itu
percuma, tidak akan mengubah apapun sekarang.” Tambahnya.
Justin
terdiam mendengar ucapan Rana.
“Lalu apa
yang harus aku lakukan?.” Lirih Justin terlihat putus asa.
Rana
tersenyum miris, tak berniat untuk menjawab pertanyaan suaminya. Ia lebih
memilih berjalan keluar dari kamar mereka tanpa berkata apapun.
Justin hanya
terdiam dalam posisinya tanpa bergerak sedikitpun setelah kepergian Rana.
‘ Apa luka
itu yang kutorehkan begitu dalam hingga sulit bagi Rana untuk memaafkanku, dan
menjadi Rana yang seperti dulu, Rana?’ batinnya.
Ia mengira
kesempatan kedua masih ada untuknya. Ia mengira ketika mata coklat seperti madu
itu terbuka itu akan menjadi awal baru untuk mereka.
Tapi Justin
kembali harus sadar kepaada kenyataan pahit, bahwa Rana membencinya.
Hati yang
dulu selalu memancarkan kebahagiaan itu kini dipenuhi oleh rasa sakit dan
kebencian. Dan Justin sadar bahwa itu karena kesalahannya.
Justin
menyesali semua perbuatannya itu.
Komentar
Posting Komentar